Beberapa saat lalu, saya akhirnya mau saja menuruti kemauan teman saya untuk ikut beriktikaf dengan komunitas yang disebut dengan Jamaah tabligh. Sebagai orang yang awam atas masalah agama , maka andalan saya satu – satunya untuk mencari tahu tentang jamaah itu adalah dengan bantuan “mbah google” alias browsing.
Hasil browsing di google, saya dapati banyak persepsi negatif tentang jamaah ini . Ada yang bilang bid’ah, ada yang menulis kalau jamaah ini jamaah sesat, jamaah tidak berilmu, dan masih banyak lagi yang kalau saya tulis disini akan membuat tulisan ini nggak fokus.
Berbekal rasa ingin tahu yang besar akan jamaah yang sehari – hari berpenampilan bak Imam Samudra dan teman – temannya itu, maka sayapun memberanikan diri ikut dengan teman saya untuk iktikaf bersama mereka selama tiga hari.
Tiga hari yang saya lalui sangat berat namun “very interesting”. Diantara rasa takut akan dicuci otakdengan doktrin – doktrin yang dianggap sesat….yah meskipun saya tahu hidup saya pasti lebih sesat….dan perasaan bahwa saya melakukan perbuatan yang sia – sia, karena meninggalkan anak istri saya yang setiap minggunya juga sudah saya tinggalkan lebih dari 15 jam sehari, saya melihat sesuatu yang baru dan “refreshing”.
Baru kali ini dalam hidup saya , saya melihat sekelompok orang dengan wajah yang penuh keceriaan sepanjang hari mengobrol tentang bagaimana caranya berbuat baik terhadap sesama dan meningkatkan ibadah kepada Tuhan. Hal tersebut dilakukan dengan spontan bagaikan obrolan warung kopi sehari – hari yang tema umumnya adalah kesulitan hidup, politik, bola, dan obrolan tidak penting lainnya.
Yang lebih membuat saya takjub, ternyata segerombolan orang dengan dandanan bak teroris tadi adalah orang – orang “dunia” juga. Ada diantara rombongan itu seorang mayor jenderal TNI yang dengan seenaknya saya langkahi waktu saya mencari tempat untuk berbaring di masjid, yang kalau dibandingkan dengan kasus koboy Palmerah , atas perbuatan tersebut mungkin sudah bolong kepala saya dipukul pakai besi dan ditembak dengan pistol . Dalam jamaah itu juga ada beberapa orang perwira polisi, pengusaha besar, sopir angkot, pengangguran, dan mahasiswa universitas terkemuka di Jakarta.
Dalam tiga hari itu saya melihat , orang – orang “dunia” ini saling menyemangati untuk terus berbuat kebaikan dan meningkatkan amal sholeh. Tapi, weittsssss……………….. , tunggu dulu , mana ustadznya nih ? jangan – jangan benar yang dikatakan orang bahwa jamaah ini adalah jamaah yang tidak berilmu…ehh…ternyata di dalam rombongan itu ada beberapa orang ustadz lulusan pesantren terkemuka. Namun, para ustadz – ustadz tersebut tidak “exclusive” bahkan membaur dengan kita – kita yang ngaji saja masih belepotan.
Terlepas dari beberapa kegiatan jamaah tersebut yang masih mengundang kontroversi seperti jaulah alias mengetuk – ngetuk rumah orang untuk mengajak orang ke masjid, pergi meninggalkan keluarga yang katanya sampai berbulan – bulan untuk usaha dakwah…..sedikit catatan , waktu mengambil S – 2 di Australia pun , saya melihat beberapa aktivis gereja melakukan hal yang serupa dengan jaulah tersebut, mengetuk – ngetuk pintu dari rumah ke rumah, dari apartemen ke apartemen untuk mengajak pemilik rumah ke gereja…saya melihat bahwa kegiatan jamaah tabligh tersebut positif untuk mengajak orang – orang yang semacam saya ini untuk kembali ke fitrah kita sebagai makhluk ciptaan Allah dan kelak akan kembali kepadanya.
Semua orang pada dasarnya diciptakan untuk berbuat baik dan rindu akan kebaikan. Saya pribadi melihat bahwa apa yang dilakukan jamaah tabligh tersebut bagi orang Islam, khususnya orang islam seperti saya yang tidak memiliki pendidikan formal agama sama sekali , dan sudah jauh meninggalkan nilai – nilai agama yang benar, sangatlah memberi arti yang mendalam, justru disaat saya sendiri mulai mempertanyakan seperti apa sih Islam itu, ketika melihat realita di Indonesia dimana banyak oknum menjadikan Islam sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan pengaruh, alat pembenar terjadinya kekerasan, dan hal negatif lainnya.
Tiga hari yang saya lalui bersama jamaah tabligh sedikit banyak membuat saya sadar bahwa agama yang saya peluk ini bukan sebatas ceremony belaka, lebih dalam daripada itu, sholat, puasa, zakat, dan segala bentuk ibadah yang saya lakukan harusnya membentuk pribadi yang berakhlak baik, sebagaimana selama tiga hari itu saya melihat seorang Jenderal dilatih untuk rendah hati dengan melayani makan minum dan menata sandal dari jamaah yang notabene derajatnya jauh dibawah dia.
Saya jadi berfikir, mungkin inilah solusi dari permasalahan bangsa kita yang sebagian besar memeluk agama Islam. Apabila semua umat islam, mulai dari pejabat hingga tukang parkir mempunyai sifat rendah hati, mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri, dan segudang akhlak luhur lainnya yang ternyata sudah ada di hadist – hadist Rasullullah SAW, harusnya negara kita menjadi negara yang bebas dari masalah , bukan malah menjadi negara bermasalah.
Selama tiga hari itu juga saya mempelajari bahwa akhlak luhur tersebut muncul dan terinternalisasi bukan dengan cara diseminarkan, didiskusikan bahkan dijadikan kajian , namun harus dilatihkan dan dipraktekkan . Dan saya melihat jamaah tabligh tersebut “on the right path” terkait masalah ini.
Apakah saya terdoktrin ? …kelihatannya sih iya …….hehehehehehehehe ………… tapi saya bersyukur kali ini saya terdoktrin untuk rajin ke Masjid, bersikap sopan santun kepada orang lain , berbakti kepada orang tua dan berjuta nilai luhur lainnya . Hal yang berbeda 180 derajat ketika dahulu saya didoktrin untuk menghabiskan malam Sabtu dengan clubbing, hangout, dan mungkin bisa berakhir dengan kemaksiatan yang akan saya sesali seumur hidup. (KPS/JAY)
sumber
Hasil browsing di google, saya dapati banyak persepsi negatif tentang jamaah ini . Ada yang bilang bid’ah, ada yang menulis kalau jamaah ini jamaah sesat, jamaah tidak berilmu, dan masih banyak lagi yang kalau saya tulis disini akan membuat tulisan ini nggak fokus.
Berbekal rasa ingin tahu yang besar akan jamaah yang sehari – hari berpenampilan bak Imam Samudra dan teman – temannya itu, maka sayapun memberanikan diri ikut dengan teman saya untuk iktikaf bersama mereka selama tiga hari.
Tiga hari yang saya lalui sangat berat namun “very interesting”. Diantara rasa takut akan dicuci otakdengan doktrin – doktrin yang dianggap sesat….yah meskipun saya tahu hidup saya pasti lebih sesat….dan perasaan bahwa saya melakukan perbuatan yang sia – sia, karena meninggalkan anak istri saya yang setiap minggunya juga sudah saya tinggalkan lebih dari 15 jam sehari, saya melihat sesuatu yang baru dan “refreshing”.
Baru kali ini dalam hidup saya , saya melihat sekelompok orang dengan wajah yang penuh keceriaan sepanjang hari mengobrol tentang bagaimana caranya berbuat baik terhadap sesama dan meningkatkan ibadah kepada Tuhan. Hal tersebut dilakukan dengan spontan bagaikan obrolan warung kopi sehari – hari yang tema umumnya adalah kesulitan hidup, politik, bola, dan obrolan tidak penting lainnya.
Yang lebih membuat saya takjub, ternyata segerombolan orang dengan dandanan bak teroris tadi adalah orang – orang “dunia” juga. Ada diantara rombongan itu seorang mayor jenderal TNI yang dengan seenaknya saya langkahi waktu saya mencari tempat untuk berbaring di masjid, yang kalau dibandingkan dengan kasus koboy Palmerah , atas perbuatan tersebut mungkin sudah bolong kepala saya dipukul pakai besi dan ditembak dengan pistol . Dalam jamaah itu juga ada beberapa orang perwira polisi, pengusaha besar, sopir angkot, pengangguran, dan mahasiswa universitas terkemuka di Jakarta.
Dalam tiga hari itu saya melihat , orang – orang “dunia” ini saling menyemangati untuk terus berbuat kebaikan dan meningkatkan amal sholeh. Tapi, weittsssss……………….. , tunggu dulu , mana ustadznya nih ? jangan – jangan benar yang dikatakan orang bahwa jamaah ini adalah jamaah yang tidak berilmu…ehh…ternyata di dalam rombongan itu ada beberapa orang ustadz lulusan pesantren terkemuka. Namun, para ustadz – ustadz tersebut tidak “exclusive” bahkan membaur dengan kita – kita yang ngaji saja masih belepotan.
Terlepas dari beberapa kegiatan jamaah tersebut yang masih mengundang kontroversi seperti jaulah alias mengetuk – ngetuk rumah orang untuk mengajak orang ke masjid, pergi meninggalkan keluarga yang katanya sampai berbulan – bulan untuk usaha dakwah…..sedikit catatan , waktu mengambil S – 2 di Australia pun , saya melihat beberapa aktivis gereja melakukan hal yang serupa dengan jaulah tersebut, mengetuk – ngetuk pintu dari rumah ke rumah, dari apartemen ke apartemen untuk mengajak pemilik rumah ke gereja…saya melihat bahwa kegiatan jamaah tabligh tersebut positif untuk mengajak orang – orang yang semacam saya ini untuk kembali ke fitrah kita sebagai makhluk ciptaan Allah dan kelak akan kembali kepadanya.
Semua orang pada dasarnya diciptakan untuk berbuat baik dan rindu akan kebaikan. Saya pribadi melihat bahwa apa yang dilakukan jamaah tabligh tersebut bagi orang Islam, khususnya orang islam seperti saya yang tidak memiliki pendidikan formal agama sama sekali , dan sudah jauh meninggalkan nilai – nilai agama yang benar, sangatlah memberi arti yang mendalam, justru disaat saya sendiri mulai mempertanyakan seperti apa sih Islam itu, ketika melihat realita di Indonesia dimana banyak oknum menjadikan Islam sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan pengaruh, alat pembenar terjadinya kekerasan, dan hal negatif lainnya.
Tiga hari yang saya lalui bersama jamaah tabligh sedikit banyak membuat saya sadar bahwa agama yang saya peluk ini bukan sebatas ceremony belaka, lebih dalam daripada itu, sholat, puasa, zakat, dan segala bentuk ibadah yang saya lakukan harusnya membentuk pribadi yang berakhlak baik, sebagaimana selama tiga hari itu saya melihat seorang Jenderal dilatih untuk rendah hati dengan melayani makan minum dan menata sandal dari jamaah yang notabene derajatnya jauh dibawah dia.
Saya jadi berfikir, mungkin inilah solusi dari permasalahan bangsa kita yang sebagian besar memeluk agama Islam. Apabila semua umat islam, mulai dari pejabat hingga tukang parkir mempunyai sifat rendah hati, mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri, dan segudang akhlak luhur lainnya yang ternyata sudah ada di hadist – hadist Rasullullah SAW, harusnya negara kita menjadi negara yang bebas dari masalah , bukan malah menjadi negara bermasalah.
Selama tiga hari itu juga saya mempelajari bahwa akhlak luhur tersebut muncul dan terinternalisasi bukan dengan cara diseminarkan, didiskusikan bahkan dijadikan kajian , namun harus dilatihkan dan dipraktekkan . Dan saya melihat jamaah tabligh tersebut “on the right path” terkait masalah ini.
Apakah saya terdoktrin ? …kelihatannya sih iya …….hehehehehehehehe ………… tapi saya bersyukur kali ini saya terdoktrin untuk rajin ke Masjid, bersikap sopan santun kepada orang lain , berbakti kepada orang tua dan berjuta nilai luhur lainnya . Hal yang berbeda 180 derajat ketika dahulu saya didoktrin untuk menghabiskan malam Sabtu dengan clubbing, hangout, dan mungkin bisa berakhir dengan kemaksiatan yang akan saya sesali seumur hidup. (KPS/JAY)
sumber
0 Response to "3 Hari Itikaf, Berat, tapi Very Interesting!"
Post a Comment