Kisah Nenek Muallaf Tertua di Dunia

Georgette Lepaulle seorang Nenek yang tinggal di Berchem, di sebuah kota di propinsi Antwerpen, Belgia. Pada tahun 2012 Nenek Lepaulle telah membaca dua kalimat syahadat. Bahkan, saat itu Nenek tercatat sebagai muallaf tertua di dunia (saat itu usianya 91 tahun). Nenek memutuskan untuk menjadi seorang muslimah karena tertarik dengan keramah-tamahan muslim (yang berada disekelilingnya) dan beberapa kali dia merasa bahwa Allah mengabulkan do’anya. Allohu Akbar!
Georgette Lepaulle
Kisah Nenek Muallaf Tertua di Dunia

Ceritanya berawal saat 2 tahun yang lalu, saat keluarga Nenek akan memasukkannya ke panti jompo. Mohammed, seorang muslim yang telah bertetangga dengannya lebih dari 40 tahun, menghalang-halangi niatan itu. Dia mengajak Nenek untuk tinggal bersama keluarganya karena keluarga Mohammed telah mengenal Nenek sejak lama. Apalagi ibu Mohammed juga sudah meninggal, dia sudah menganggap Nenek seperti ibunya sendiri. Sejak tinggal bersama keluarga Mohammed, Nenek mulai tertarik dengan Islam. Nenek melihat mereka sholat berjama’ah, saling berkasih-sayang, dan saling berbagi. Nenek melihat makna “keluarga” yang begitu indah dalam keluarga Muhammed, sangat berbeda dengan kondisi keluarganya.
Pada musim panas tahun (2012), Nenek ikut dengan Muhammed untuk mengunjungi keluarganya di Maroko. Pada waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan puasa bagi umat Islam. Puasa bukanlah hal yang asing bagi Nenek yang (dulunya) beragama Katolik. Dia dibaptis, pergi ke biarawati di sekolah, dua kali menikah di gereja dan kedua suaminya pun telah meninggal dan dikuburkan dengan cara gereja. Selama hidup dia bekerja sebagai seorang pembantu di sebuah keluarga Yahudi. Namun dia merasa bahwa agamanya tidak pernah “menyentuh”nya. Sebaliknya, dia merasa jauh dari Tuhan. Dia mulai merokok untuk pertama kalinya saat berusia 5 tahun hingga usianya 78 tahun. Pada usia 7 tahun, dia mulai minum alkohol hingga sebelum dia masuk Islam, dia minum setengah botol wine setiap hari. Itulah kebiasaan lamanya sejak pernikahan pertamanya dengan seorang pilot Italia yang telah meninggal saat perang.
Nenek merasa keikutsertaannya saat Ramadhan tahun itu membangkitkan jiwa religiusnya. Dia sendiri merasa kaget. Dia merasa sangat terlambat merasakan “pengalaman” ini, merasakan hubungan dengan sesuatu yang “lebih tinggi”, dengan Allah. Dia merasakan keterbukaan-Nya, juga cinta-Nya. Dia pernah berdo’a meminta kesembuhan untuk temannya dan untuk keselamatan seorang anak muda yang “salah jalan”. Kedua do’anya itu telah dikabulkan-Nya. Baginya, itu sudah cukup menguatkan dirinya untuk masuk islam.
Saat masuk Islam, para muslimah “membersihkan” seluruh tubuh Nenek (mungkin maksudnya adalah mandi besar sebagai salah satu hal yang diwajibkan ketika seseorang itu masuk Islam, sebagaimana dalam sebuah hadits, Dari Qais bin Ashim Radhiyallahu Anhu bahwa ia masuk Islam, lalu diperintah oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar mandi dengan menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 128, Nasa’I I: 109, Tirmidzi, II:58 no: 602 dan ‘Aunul Marbud II: 19 no: 351). -red). Setelah itu, para muslimah pun menghujani Nenek dengan ciuman. Menurut Nenek, ia tidak pernah mendapat ciuman yang sebanyak itu sepanjang hidupnya. Dia merasa senang karena mereka menganggapnya sebagai saudaranya. Sejak masuk Islam, banyak hal yang harus Nenek tinggalkan, seperti minuman keras , rokok, daging babi dan juga sesuatu yang tidak mudah bagi seorang wanita yakni make-up. Sebelumnya, Nenek selalu memakai make-up yang tebal.
Begitu kembali di Belgia, mereka pergi ke masjid besar di Brussels untuk mengurus Sertifikat ke-Islam-an Noor, nama baru Nenek. Kemudian masjid di Brussels melaporkannya ke masjid di Mekah. Ternyata, tidak ada muallaf yang lebih tua dari usia Nenek saat itu, yaitu 91 tahun. Segera saja Raja Saudi Arabia mengirimkan utusannya ke Berchem untuk memberikan hadiah, sebuah jam tangan emas untuk Nenek. Tidak hanya itu, Raja Saudi Arabia juga mengirimkan “undangan” baginya untuk menjalankan ibadah Haji tahun depan.
Nenek tampak bersungguh-sungguh dengan ke-Islam-annya (semoga Allah memberi Nenek keistiqNenekhan). Komitmennya untuk menjadi muslimah yang baik terus dia upayakan, termasuk digambarkan saat wawancara ini. Saat perkenalan, dia menyembunyikan tangannya dibalik bajunya. Dia menolak untuk berjabatan tangan. Dia menyebutkan bahwa dia tidak akan mengulurkan tangannya untuk orang asing karena begitulah aturan Islam (Subhanalloh…bagaimana dengan kita? yang sudah muslim sejak lahir. Sudahkah kita memiliki komitmen seperti Nenek? faghfirlana…). Dia hanya akan “menyentuh” suaminya. Sambil becanda, dia pun mengatakan bahwa pernyataan ini tidak berarti bahwa dia merencanakan sebuah pernikahan setelah ini (setelah ia menjadi muslimah). Bahkan ketika Nenek ditanya, berapakah biaya yang harus dia keluarkan untuk menjadi seorang muslimah. Dia menjawab bahwa hal ini (ke-Islam-annya -red) tidak ada kaitannya dengan uang. Dia mengambil keputusan ini dengan sukarela.
Subhanalloh walhamdulillah walaa ilaaha illallohu Allohu Akbar !
Betapa kisah ini adalah salah satu contoh bahwa hidayah Allah bisa sampai kepada siapa pun, tidak terbatas asalnya, warna kulitnya atau usianya. Dan kita pun harus yakin bahwa Allah akan memuliakan orang yang bisa menjadi jalan hidayah bagi orang lain.
“Seseorang mendapat hidayah Allah melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah ”
Itulah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika beliau menyerahkan bendera kepadanya pada saat perang Khaibar. Kemudian Ali berkata : “Atas dasar apa kita memerangi manusia, kita memeranginya sampai mereka seperti kita?”. Rasul bersabda : Sabar, sampai engkau memasuki wilayah mereka, lalu dakwahkan mereka kepada Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajiban-kewajibannya, maka demi Allah seseorang mendapatkan hidayah melalui engkau, hal itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”.


0 Response to "Kisah Nenek Muallaf Tertua di Dunia"

Post a Comment