Pengakuan salah seorang mahasiswa,,silahkan disimak dg hati yg tenang :
'Tuan-tuan, ini kargozari saya, hendak bagi dengan tuan.Saya dulu adalah orang yang amat jahil. Karena sangat bodohnya, hingga usia 18 tahun pun shalat 5 waktu masih sering tinggal. Sebenarnya didalam hati amat ingin belajar agama lebih jauh dan mengamalkanya sebagaimana yang sering saya dengar di acara tausiyah radio. Tetapi nafsu belajar ilmu sekolah lebih besar daripada ilmu agama. Karena jahilnya saya, sampai-samapi saya bilang ilmu agama tak bisa disamakan dengan ilmu sekolah. Jauh berbeda.
Tidak jarang saya mengikuti tausiyah atau acara pengajian. Tetapi setiap saya ikut, saya selalu merasa tidak sejalan dengan apa yang disampaikan dalam pengajian. Apalagi ketika dalam pengajian dibahas mengenai kecaman terhadap saudara se-iman sendiri. Menghakimi orang lain dan mengatakan sesat. Saya sangat benci hal itu. Saya memang tidak menyukai paksaan dalam bentuk apapun. Apalagi menyangkut kekerasan dan menyinggung orang lain. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti belajar agama.
Banyak teman mengajak ikut kajian, tetapi saya selalu menolak. Saya lebih memilih belajar ilmu sekolah dengan tenang dan sesuai dengan nurani saya. Kejadian ini berlangsung terus menerus hingga saya kuliah dan berusia 18 tahun. Selama itu juga saya sering sekali tinggal shalat, maksiat bertubi-tubi dan sebagainya. Meski demikian, saya tidak pernah menyentuh minuman keras dan rokok. Karena ilmu di sekolah mengajari saya bahwa tidak ada manfaat sedikit pun dari barang haram tersebut.
Hingga suatu sore seusai magrib, ada orang yang mengetuk pintu kos saya. Ketika saya buka, ternyata ada 5 orang berpakaian serba putih seperti ulama. Mereka berjenggot dan terlihat masih muda. Lalu salah seorang mengucapkan salam dan menyalami saya. Saya suruh masuk tetapi mereka enggan, mereka menyampaikan bahwa ada pengajian di masjid dan mengajak saya turut serta sekaligus shalat isya. Dengan bahasa yang begitu lembut dan menyentuh. Tetapi hati saya tak bergeming sedikit pun. Berbagai dalih saya utarakan agar saya tak di ajak. Akhirnya mereka hanya bilang, lain kali di usahakan ya.
Itulah saya, dasar jahil tetap saja jahil. Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi. Tapi kali ini cuma 3 orang. Kali ini pun mereka mau untuk masuk rumah. Saya mulai berfikiran macam-macam. Saya takut kalau mereka mengajak berjihad dengan bom bunuh diri seperti yang umumnya diketahui masyarakat. Saya pun takut kalau ditanya macam-macam, sedangkan ibadah saya hampir tidak ada. Saya takut kalau saya dibilang kafir, sesat atau apalah namanya.
Tapi yang terjadi sungguh diluar dugaan. Dengan ramahnya mereka bertanya tugas kuliah saya, bagai mana hari-hari saya selama kuliah, apakah ada kesulitan. Baru kali ini saya merasa tersentuh dengan orang asing yang mau peduli dengan hidup saya. Bahkan keluarga saya pun tak bertanya begitu rinci seperti mereka. Rasa takut pun mulai hilang dalam diri saya, apalagi salah satu dari mereka mengajak bercanda. Sungguh saya tak menyangka bisa demikian.
Setelah suasana hangat, mereka perlahan membawa pembicaraan kepada hal-hal yang berkaitan dengan agama. Terutama berkaitan dengan Allah, Tuhan semesta alam. Mereka sama sekali tak menyinggung soal ibadah saya. Yang mereka bicarakan iman dan amal soleh yang amat penting dalam kehidupan. Saya pun merasa nyaman mendengarnya tanpa harus merasa malu karena agama saya yang rusak.
Akhirnya menjelang isya’ mereka mengajak saya ke masjid. Dan saat itu saya pun mau, walau pun dalam hati masih cemas. Ketika tiba dimasjid, saya disambut oleh seseorang yang dengan ramahnya mengucapkan salam dan memeluk saya. Masya Allah, hati saya begitu tersentuh menyaksikanya ayah saya pun belum pernah mememeluk saya sejak saya remaja. Dalam hati saya berfikir, kalau orang ini mau mengajak nge-bom, tentu mereka tak sehangat ini. Mereka begitu menyayangi saudaranya. Dan benar saja, tidak ada sama sekali yang saya takutkan. Saya hanya diajak shalat berjamaah. Seusai shalat, salah satu dari mereka berpesan, sering-sering ya temani kami disini. Saya hanya tersenyum sambil berlalu.
Hari berikutnya saya pun tahu, bahwa mereka yang mengunjungi saya adalah mahasiswa yang tinggal tak jauh dari kos saya. Setiap ketemu mereka selalu mengucapkan salam dan menanyakan keadaan saya. Suatu malam, pintu kamar kos kembali di ketuk. Dan yang datang orang yang sama, kali ini jumlah mereka 5 orang. Setelah berbicara tentang persaudaraan dan pentingnya agama, mereka pun langsung mengajak saya ke masjid. Saya pun ikut mereka dengan diantar 1 orang dari mereka.
Sesampainya dimasjid saya kembali disambut dan diantarkan pada sekelompok orang yang mendengarkan pengajian. Sesampainya didalam saya merasa malu. Karena yang duduk disana semua memakai peci atau sorban dengan baju gamis, beberama ada juga yang memakai baju koko. Sedangkan saya hanya memakai kaos oblong dan kepala tanpa peci. Ingin rasanya saya pulang kembali ke rumah. Namun mereka yang didalam langsung menyambut saya. Tanpa sedikit pun menyinggung soal pakaian saya. Seandainya saat itu ada yang menyinggung pakaian saya, saya pasti langsung pulang. Tapi tak ada satu pun yang demikian, bahkan setelah pengajian selesai, mereka mengajak saya berbincang-bincang seolah sudah kenal amat lama. Tak sedikit pun menyinggung perbedaan antara saya dan mereka.
Begitulah hari-hari saya selanjutnya. Mereka tanpa henti mengajak saya seolah tak kenal lelah. Saya pun terus ikut, dengan seragam biasa. Kaos oblong dan kepala tanpa peci. Suatu malam saya diajak untuk duduk melingkar, dan sang ustadz (amir) membicarakan tentang adab-adab. Terutama adab ketika shalat, bahwa dalam shalat kita harus dalam keadaan sebaik-baiknya. Baik dalam hati maupun fisik. Saya pun merasa malu dengan pakaian saya saat itu. Itu kah yang saya gunakan untuk menghadap Allah? Maka sejak malam itu, saya berusaha menyisihkan uang untuk saya belikan baju koko.
Dan Allah pun mengizinkan, dua minggu kemudian saya membeli baju lengkap dengan peci dan sarungnya. Setelah saya pergi ke masjid, mereka yang selalu mengajak saya begitu ceria dan gembira melihat seragam baru saya. Mereka bertakbir sambil memeluk saya. Bahkan mungkin mereka lebih gembira dari pada mendapat uang atau apalah. Sungguh, saya begitu terharu melihatnya. Baru kali ini orang begitu senang melihat kehadiran saya. Setelah melihat saya sering ikut kajian, akhirnya mereka mengajak saya untuk belajar mengamalkan ilmu yang sering dibicarakan. Saya bertanya bagaimana caranya. Mereka bilan, kita bermalam di masjid di desa sebelah, disana kita juga mengadakan kajian dan mengajak orang disekitar. Saya terdiam sejenak. Tetapi satu dari mereka menepuk bahu saya sambil berkata “Sudahlah, tak usah pikir-pikir, yang penting niat dan berangkat. Tidak lama, cuma 1 hari saja”. Ya, saya pun lalu ikut. Ustadz (amir) bilang hari sabtu pagi saja berangkatnya, ketika kuliah libur. Nanti minggu sore pulang. Tanpa bekal uang saya pun ikut, karena saya mengira hanya sebentar saja.
Ketika tiba di masjid, amir langsung mengajak musyawarah tentang kegiatan. Dan disana di bahas masalah takazah (Korban) untuk keperluan selama sehari. Maka ditetapkan takazah sebesar 10 ribu rupiah. Saya pun cemas, karena tak membawa uang sampai 10 ribu. Di kantong hanya ada uang 2 ribu saja. Saya pun kebingungan dan ingin pulang saja. Malu rasanya kalau tak bisa ikut takazah. Tapi sungguh dahsyat yang terjadi, hanya saya sendiri yang tak di mintai takazah. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang memberi takazah lebih untuk mencukupi kekurangan. Masya Allah, betapa hina saya ini ya Allah. Tak lama kemudian, amir menyuruh untuk shalat Dhuha sulu. Saya ambil wudhu dan ikut shalat.
Hati saya begitu terharu melihat beberapa minggu yang terjadi pada saya. Mulai dari kegigihan mereka mengajak saya, hingga kebersamaan yang terjadi pagi itu. Dalam hati saya berkata, inilah islam yang sesungguhnya. Inilah yang dicontohkan Rasulullah. Tak sedikitpun mereka ribut dan berdebat. Apalagi masalah dunia dan pemahaman (khilafiah). Tak terasa air mata saya mengalir dengan derasnya. Ituah air mata pertama yang mengalir ketika saya sedang shalat, pagi itu tak pernah kulupakan dalam hidup saya.
Selama 4 rekaat saya shalat, air mata terus mengalir.“Ya, Allah begitu bathilnya saya, begitu jahilnya saya, begitu hinanya saya” Kata-kata itu selalu terngiang di setiap gerak shalat pagi itu. Di akhir kegiatan. Amir berpesan dengan tegasnya. Bahwa apapun profesi kita, itu hanyalah topeng. Maksud dan tujuan hidup kita adalah untuk agama. Jadikan dakwah sebagai maksud hidup dan amal shaleh sebagai landasan. Itulah kata-kata dari amir yang selalu teringat hingga saat ini. Insya Allah saya niat amal dan sampaikan sampai saya mati Saudara-saudaraku, lihatlah betapa jahilnya hidup saya, walaupun hari ini saya masih sering maksiat, tapi saya merasa lebih tenang menjalani hidup. Semua itu karena hidayah yang Allah turunkan melalui para da’i-da’i Allah. Yang mau mengetuk pintu saudaranya untuk mengajak taat pada Allah. Yang terus berjuang tanpa mengharap pujian dari manusia. Yang menghargai dan menyayangi saudaranya seperti menyayangi diri mereka sendiri. Yang tak silau oleh gemerlap dunia. Sungguh, demi Allah inilah ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Yang selama ini saya cari, yang selama 18 tahun tak saya temui.
Mereka yang mau menelusuri jalan berbatu dan becek untuk mendatangi umat. Bukan menunggu umat datang.Bayangkan jika tidak ada orang yang mau mengulurkan tangan dan mengetuk rumah saya, maka saya hari ini pun mungkin menjadi orang bejat dan durjana. Bahkan kafir mungkin.
Meski saya tetap maksiat, tapi setidaknya, saya tahu siapa Tuhan saya. Yang memberi saya hidup. Saudara-saudaraku, umat menunggu kita, mereka menunggu rumah mereka diketuk, menunggu datangya hidayah. Insya Allah, kita perjuangkan agama hingga seluruh alam sampai kita mati..
Saya berniat dan bertekad, dimana saya berada, disitu kebesaran Allah dibanggakan, disitu agama Allah diperjuangkan. Insya Allah do’akan saya...
0 Response to "Yang Selama Ini Saya Cari (Pengakuan Seorang Mahasiswa)"
Post a Comment