Empat Bulan di Kampung Hitam

Ada satu wilayah kecil di bagian pesisir Indonesia Barat dimana sebagian besar lelakinya adalah bajak laut (perompak).

Aksi mereka sadis. Membantai seluruh awak kapal, lalu mayatnya dihempaskan ke laut lepas. Lalu menjual kapal itu. Hasil kejahatannya jelas digunakan untuk berfoya-foya. Bayangkan, rata-rata tabungan mereka di rekening bank kota bernilai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Wajar bila kampung itu hanya ada kesibukan maksiat, tak terkecuali anak-anak dan para ibu rumah tangga. Aparat keamanan pun tak bernyali untuk masuk ke wilayah itu.

Kemudian masuklah satu jamaah atas keterangan dari Fulan (penduduk asli kampung bajak laut yang sudah hijrah) yang sudah ambil bagian dalam dakwah di kota provinsi.

Jamaah (10 orang) pun terus berangkat dengan berbagai tantangan. Transportasi sungai yang sangat mahal dan memakan waktu seharian, di sisi sungai hanya terlihat hutan lebat.

Sampai di kampung itu bukan sambutan hangat didapat, tapi acungan senjata api dan parang. Amir sab segera menghadapi mereka seraya menjelaskan maksud kedatangan jamaah. Ajib, kepala kampung itu langsung menerima dan mempersilakan jamaah itikaf di masjid.

Dan banyak peristiwa terjadi selama empat bulan di wilayah itu :

~ Seorang pemilik ayam aduan seharga 15 juta rupiah, disembelih untuk berkhidmat pada jamaah sebab ingin menghentikan kebiasaan berjudi sabung ayam.

~ Setelah ada usaha sambung hati dengan kepala kampung, ia berterus terang telah menyimpan dan menunjukkan potongan 80 telinga sebagai simbol kesaktiannya. Lalu segera bertobat dan menguburnya.

~ Jamaah bisa berdiam di satu masjid sampai satu minggu karena setiap hari dipadati warga untuk hadir sholat berjamaah dan taklim setiap malamnya. Dan sebagian lelaki berlanjut ikut itikaf.


Dan banyak peristiwa terjadi selama empat bulan di wilayah itu :
~ Seorang pemilik ayam aduan seharga 15 juta rupiah, disembelih untuk berkhidmat pada jamaah sebab ingin menghentikan kebiasaan berjudi sabung ayam.

~ Setelah ada usaha sambung hati dengan kepala kampung, ia berterus terang telah menyimpan dan menunjukkan potongan 80 telinga sebagai simbol kesaktiannya. Lalu segera bertobat dan menguburnya.

~ Jamaah bisa berdiam di satu masjid sampai satu minggu karena setiap hari dipadati warga untuk hadir sholat berjamaah dan taklim setiap malamnya. Dan sebagian lelaki berlanjut ikut itikaf.

~ Keributan warga pecah, -entah apa penyebabnya- saling baku tembak, baku libas dengan pisau dan pedang. Lalu datang beberapa orang ke masjid meminta jamaah untuk melerai. Musyawarah singkat mengutus dua orang ke medan laga. Alhasil, tawuran itupun selesai.

~ Anak-anak yang biasanya berhenti sekolah di kelas 4-5 SD, berbondong-bondong mengikuti madrasah (deeniat) di masjid dan rumah penduduk yang sudah ambil bagian usaha dakwah.

~ Lebih dari 100 orang ikut belajar tiga hari (72 jam). Biasanya mereka langsung memandu jamaah untuk pindah ke masjid berikutnya. Suasana ini mirip seperti di India. Bagaimana mereka merasa sedih dan haru ketika jamaah pindah masjid disertai peluk dan tangis.

~ Tidak masuk akal, saat pindah masjid ke seberang sungai. Masyarakat memberi laporan kepada jamaah, bahwa mereka telah dikejutkan dengan singgahnya seorang (diri) wanita agak lusuh paruh baya berlayar menggunakan perahu ukuran kecil dengan layar kusam. Tiba di tepian, si wanita itu menasehati setiap ibu-ibu untuk berkerudung, kemudian berlalu kembali ke perahunya dan menuju lautan. Kejadian ini berulang sampai jamaah di seberang sungai yang ketiga, sehari sebelum jamaah tiba!

Amir sab memaknainya sebagai targhib, "Coba, wanita itu bisa dakwah sendiri dengan susah payah hujan-panas dari Indonesia Timur, sedangkan kita lelaki dan berjamaah pula, apa kurang enak?" Bertambahlah semangat (jasbah) jamaah. "Dan itu yang kirim Allah langsung buat pelajaran kita!" Sambung Amir sab.

~ Ketika pindah masjid ke sungai ketiga, atas musyawarah Anshar sebaiknya kepindahan jamaah dilakukan sebelum Subuh, karena pertimbangan transport (boat) dan sungai pasang. Namun yang terjadi, ternyata air ke hilir surut -tidak ada genangan- boat tak bisa digunakan. Maka jarak kira-kira 30 meter ke seberang Amir sab putuskan untuk berjalan.

Amir sab lebih dulu melintas, kemudian diikuti yang lainnya sambil memanggul barang. Anehnya setiap jamaah merasakan hal ganjil di tiap pijakan kaki.

Sampailah jamaah dengan selamat. Masyarakat yang diberitahu akan kedatangan jamaah menyambut dengan suka cita. Hanya saja ada yang membuat masyarakat tercengang. "Hah, bagaimana bisa? Menyeberang? Subhanallah, itu sarang ular!" Jamaah pun syok, menampakkan wajah tegang membayangkan nyawanya hampir lepas.

Semoga sedikit kisah ini dapat menjadi hikmah, jasbah, dan ittiba' bagaimana Allah swt memberikan pertolongan kepada para Nabi dan Sahabat ra ketika melaksanakan usaha agama. Sungguh janji Allah swt, pasti!

-- TAMAT --

sumber: Grup Kargozari Dakwah II


Empat Bulan di Kampung Hitam

0 Response to "Empat Bulan di Kampung Hitam"

Post a Comment